Home >>Blog >Jalan-jalan

Terry Endropoetro's avatar

Warna-warni Kain Tenun & Rumah Panggung

Entah kalau kalian, tapi senyum saya langsung sumringah ketika melihat sarung-sarung tenun disampirkan di depan rumah. Karena ketika bertandang ke Buton empat tahun lalu, saya tak sempat mampir ke kampung yang meriah penuh warna-warni.

Sejak kapal-kapal pedagang Arab dan Cina melintas di Nusantara, ada satu pulau di Sulawesi yang menjadi tempat persinggahan yaitu Buton. Pulau dengan sebuah kerajaan Buton yang penguasa pertamanya pada 1332 dipimpin oleh Raja Wa Wakaa, seorang perempuan perkasa.

Selain dengan pedagang Arab dan Cina, kerajaan Buton juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Majapahit. Dalam perdaganga, kerajaan Buton sudah menggunakan kampua yaitu berupa selembar kain untuk alat pembayaran. Jadi bayangkan saja betapa teknik pembuatan tenun sudah dikenal oleh masyarakat Buton.

Dari dulu hingga kini, kain tenun menjadi barang berharga di Buton. Selain sebagai alat pembayaran, juga menjadi bagian dari adat istiadat dan ritual. Tak hanya itu, kain tenun juga menentukan status dan tingkatan sosial.

WANITA PENENUN
Salah satu kampung tenun tertua di Buton adalah Kampung Topa, di Desa Sulaa, Buton Tengah. Ada 100 penenun di sana. Dilakukan oleh para wanita dan di sana anak-anak gadis sudah harus belajar menenun sejak mereka berusia 10 tahun. Menenun adalah pekerjaan wanita, adalah tabu bagi para lelaki mengerjakan tenunan. Mereka biasanya melaut mencari ikan, berkebun, atau berdagang.

Pekerjaan menenun biasanya dilakukan oleh dua atau tiga orang. Proses awal menenun adalah mengulur dan mengaitkannya pada dua bilah bambu. Setelah terpasang barulah dilakukan penenunan dengan benang menyilang. Tak habis kekaguman saya melihat para wanita menenun. Bagi saya, pekerjaan ini merupakan salah satu yang paling rumit di dunia ini.

Mengulur benang menjadi sebuah pola garis.

Menyelipkan benang selembar demi selembar.

Menenun kain bermotif leja. Akan selesai dalam waktu kurang dari 2 minggu.

Dulu para penenun mewarnai benang dengan pewarna alami, kini mereka lebih memilih benang sintesis hasil pabrikan. Selain tak memakan waktu lama untuk memrosesnya, mudah pula didapat dengan harga terjangkau. Menjadi ciri khas masyarakat pesisir, sarung tenun Buton memiliki warna-warna terang dengan menggunakan benang mengilat.

Bila kalian ke Kampung Topa, akan mudah sekali menemukan kain tenun yang dijual. Baik pada penenun langsung atau beberapa galeri tenun. Harganya bervariasi berkisar Rp200.000 hingga Rp700.000 per lembar. Selembar kain tenun panjang biasanya berukuran lebar 75 – 80 cm dengan panjang kain 4 meter. Lembaran ini yang kemudian dijahit menjadi sarung.

MEMAKAI KAIN ADA ATURANNYA
Kain tenun khas Buton memiliki motif sederhana yaitu tenunan dengan garis-garis memanjang, sedangkan tenunan menyilang membentuk kain tenun bermotif kotak-kotak. Keduanya biasa dibuat menjadi sarung yang digunakan sehari-hari atau jubah khusus untuk acara adat dan ritual.

Ada cerita dari seorang teman keturunan Buton yang sudah lama merantau di luar Buton. Ia pun menikah dengan lelaki Australia. Pada satu kesempatan ‘pulang kampung’ dan berlebaran di Buton, suaminya ikut melakukan sholat Ied di Masjid Kerajaan. Ia heran mengapa selama perjalanan ke masjid semua pandangan tertuju pada mereka. Sepulang ke rumah barulah ia tahu bahwa keanehan bukan karena suaminya yang berkulit putih dan berambut pirang, tapi pada sarung suaminya.

Ia lupa bahwa di Buton, sarung dengan motif bergaris atau disebut leja hanya diperuntukkan bagi para wanita. Lelaki seharusnya menggunakan sarung dengan motif kotak-kotak. Para wanita masih diperbolehkan menggunakan sarung bermotif kotak-kotak, tapi tidak sebaliknya. Para lelaki boleh menggunakan motif leja bila sudah dijahit menjadi jubah. Itu pun dengan garis memanjang vertikal, bukan horizontal.

Sarung menjadi seragam kelompok rebana di Kampung Topa. Hayo, tahu cara memakainya nggak?

Jubah para penari Mangaro. Gagah ya.

Seperti saat peresmian Kampung Topa sebagai Kampung Tenun Warna-warni, saya juga melihat para lelaki gagah menggunakan jubah saat menari Mangaro, tarian menyambut tamu. Jubah-jubah panjang ini biasanya hanya digunakan para lelaki saat ritual adat dan menjadi baju kebesaran para bangsawan dan orang-orang di lingkungan kerajaan.

Untuk sehari-hari, sarung dipakai seperti biasa. Agar sedikit resmi, biasanya akan disampirkan sehelai selendang tenun. Sementara untuk upacara adat, selain menggunakan baju semacam kebaya kurung. Para perempuan biasanya mengikatkan sarung di salah satu pundak bagi yang sudah menikah. Bagi yang belum menikah sarung dipakai dengan cara menyarungkan sarung sebatas dada. Sebuah selendang akan disampirkan menyilang di bahu. Khusus pagi para janda, selendang akan diikat di pinggang. Walau semua ‘peraturan persarungan’ ini tak berlaku bila berada di luar Buton, yang penting saat berada di sana jangan sampai salah, ya.

RUMAH PANGGUNG JADI UNIK
Di Kampung Topa masih banyak Banua Tada, rumah panggung berdinding kayu. Disangga tiang-tiang kayu kokoh yang didirikan di atas batu. Bagian atas digunakan sebagai rumah tinggal, sedangkan bagian kolong rumah dijadikan tempat meletakkan barang-barang, merentang jaring, juga dijadikan tempat menenun. Sehingga sambil menenun, para wanita juga bisa mengawasi anak-anak yang bermain di sekitar rumah.

Suasana tradisional di Kampung Toda masih tampak pada kehidupan sehari-hari. Dijaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Wajar kalau kampung ini berpotensi menjadi tempat wisata. Inilah yang membuat Pacific Paint melirik. Sebagai bentuk partisipasi menjaga kelestarian budaya setelah 75 tahun ikut 'mewarnai' Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, Pacific Paint menggelontorkan 3.435 liter cat Glotex dan 700 galon cat Metrolite untuk mewarnai 107 rumah panggung, dinding, dan pagar, serta 160 kaleng Glotex untuk mengecat perahu. Tak hanya itu, di kampung Topa kalian bisa lihat 50 mural yang dilukis oleh 7 pelukis mural. Dalam waktu tiga bulan, Kampung Toda berubah dan pada akhir Juni 2018, Kampung Topa diresmikan sebagai Kampung Tenun Warna-warni.

Walau tak ingin membandingkan satu kampung warna dengan kampung warna lain, tetap saja saya berusaha mencari apa keunggulan kampung ini. Ternyata setelah melihat deretan kain yang sedang dijemur di depan sebuah rumah panggung, saya menemukannya. Bilah-bilah kayu diwarnai berulang, penampakan menjadi mirip dengan leja, motif garis khas tenun Buton.

Jadi kalau kalian suka dengan kain tenun, kalian harus mampir ke Kampung Topa. Kalau kalian suka foto-foto, kampung ini instagramable! Selain itu, dari pelabuhan Topa, kalian bisa menyewa perahu menyeberang ke Pulau Ular. Keren deh, pokoknya! █

---------------------------------------------

Perjalanan ke Kampung Tenun Warna-warni (Kampung Topa, Desa Sulaa, Bau Bau, Buton) bersama blogger, vlogger, dan youtuber pada Juni 2018 ini, atas undangan dari PT Pacific Paint. Foto-foto juga ditampilkan di twitter dan instagram dengan hashtag #tenunwarnawarni #pacificpaint #75thpacificpaint


Comments

No comments yet.

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.