Home >>Blog >Jalan-jalan

Terry Endropoetro's avatar

Pampang, Desa Budaya Dayak Kenyah

Hanya bisa duduk pasrah sambil membentangkan peta Kalimantan Timur, sedikit menyesali kurangnya info yang diberikan teman bahwa untuk menuju desa budaya Pampang bisa diteruskan dengan 'ngeteng' dari terminal Lampake, Samarinda.

"Angkutan ke sana biasanya ramai pada pagi dan sore hari, antar orang-orang pergi dan pulang dari pasar. Kalau siang ada juga bus yang menuju Bontang, tapi jarang. Kalaupun ada, nanti kalian kembali ke mari naik apa?" kata pemilik warung makan yang mungkin merasa kasihan melihat saya dan Eureka Sari duduk di emperan depan warungnya. Ia menyarankan kami menyewa mobil dari seberang terminal.

Seorang pengemudi mobil sewaan mendekat. Kami sepakat dengan harga Rp150.000 bolak-balik dengan waktu tunggu paling lama 1 jam. Mobil melaju di jalan raya Raya Samarinda-Bontang, dihibur dentuman house music dan guyonan garing pengemudi ha... ha... ha... tak apalah.

Sekitar setengah jam kemudian mobil berbelok ke kiri, melewati sebuah gerbang yang memajang tameng bermotif khas Dayak. Tapi perjalananan belum berakhir, masih harus melewati hutan dan ladang. Barulah ketika mulai tampak rumah-rumah dengan hiasan khas Dayak di pagar atau bagian depan rumah, berarti kami sudah dekat di desa tujuan.

MENJADI DESA BUDAYA
Mayoritas penduduk asli desa ini adalah kuturunan suku Dayak Kenyah, yang semula hidup di hutan-hutan di wilayah Kutai Barat dan Malinau. Pada 1960-an ketika ada perseteruan RI dengan Malaysia, mereka bermigrasi dan hidup berpindah dengan berlandang di tempat-tempat yang mereka singgahi sampai akhirnya menetap di wilayah Sungai Siring.

Adat istiadat memuja nenek moyang dan Sang Pencipta tak mereka tinggalkan. Salah satunya adalah upacara Pelas Tahun yang merupakan perwujudan rasa syukur atas anugerah panen yang berlimpah. Karena lekat dengan kehidupan dan adat istiadat inilah, maka pada 1991 Pampang diresmikan sebagai salah satu Desa Budaya di Samarinda, Kalimantan Timur.

Mobil berbelok ke sebuah halaman luas dan berhenti di depan sebuah rumah lamin, rumah panggung yang panjangnya mungkin 100 meter. Tiang-tiang penyangga rumah dipahat berbentuk patung. Beratap sirap, di bagian ujung atap ada ornamen berulir dengan hiasan burung enggang. Di bagian tengah dihias ornamen tumbuh-tumbuhan. Rumah lamin ini tidak ditinggali. Tapi menjadi pusat kegiatan masyarakat, tempat berkumpul saat ada acara-acara adat. Peralatan upacara pun disimpan di sana.

Tangga naik ke rumah lamin berupa gelondongan batang kayu yang diletakkan miring. Pahatan-pahatan menyerupai anak tangga dibuat di satu sisi, namun ukurannya tidak cukup besar. Saya berjalan pelan, berhati-hati sambil menjaga keseimbangan. Sementara anak-anak perempuan suku Kenyah yang sudah berdandan cantik dengan baju gemerlap bermanik-manik berlari cepat melewati tangga walaupun tanpa alas kaki.

Bagian teras rumah lamin sangat luas. Bangku-bangku panjang berwarna kuning dengan lukisan ornamen pada sandaran, disusun berderet. Ruangan ini akan ramai pengunjung pada hari Minggu siang, saat acara rutin digelar dan para wisatawan datang. Di langit-langit yang tinggi dipajang perahu bertuliskan alut adang sigau belawan. Apalah kira-kira artinya? Di tengah ruangan tergantung semacam kain panjang warna-warni sebagai pelengkap tarian adat.

Dinding pembatas antara ruang depan dengan dinding bagian dalam dihiasi dengan ukiran tiga dimensi khas suku Dayak yang didominasi warna putih, kuning dan merah, warna-warna pelambang kesuburan. Bentuknya seperti bunga anggrek, sulurnya sambung-menyambung. Tapi kalau dilihat berlama-lama, saya malah membayangkannya seperti tentakel gurita, ya?

SATU JEPRETAN, SATU HARGA
Beberapa lelaki berumur berdiri menyambut di ruangan yang luas, sambil menunggu kami mengisi buku tamu, mereka mengenakan rompi kulit kayu, segala pernak-pernik kalung dan topi berhias paruh burung enggang. Tak lupa pula menyematkan mandau di pinggang.

Anak-anak perempuan yang sudah berdandan tadi duduk di bangku panjang sambil berbisik-bisik. Salah satu yang paling berani, mendekati sambil bertanya, "Tidak mau berfoto?"

Di salah satu tuang dipasang pengumuman tarif berfoto dengan suku Dayak Kenyah dewasa tarifnya Rp25.000 dan Rp20.000 bila berfoto dengan anak-anak. Saat memotret, pastikan lensa fokus. Karena setiap jepretan akan dihitung jumlahnya oleh anak-anak suku Dayak Kenyah. █


Comments (1)

Topic:
Sort
0/5 (0)
Facebookdel.icio.usStumbleUponDiggGoogle+Twitter
Gravatar
vira says...
Mbak, mungkin lain kali ke situ naik sepeda aja, bebas waktunya Cool

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.